KaltimExpose.com, Samarinda – Pegiat Nahdlatul Ulama (NU) Kalimantan Timur, Asman Azis, menyatakan kekecewaannya setelah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menerima tawaran konsesi tambang dari pemerintahan Presiden Joko Widodo. Pernyataan ini diungkapkan dalam acara daring Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Internasional, Sabtu (8/6) malam, yang mengundang perhatian luas di kalangan masyarakat dan organisasi keagamaan.
Asman Azis dengan emosional mengungkapkan, “Saya sebagai orang NU agak emosional kalau melihat ini. Agak sedih juga kalau PBNU harus tergantung sepenuhnya terhadap rezim.” Ia menyoroti bahwa keputusan PBNU ini seolah meninggalkan ajaran Gus Dur, yang selama ini menekankan pentingnya menjaga jarak dari kekuasaan untuk menjaga integritas dan kemandirian organisasi.
Kekecewaan Asman semakin dalam ketika mengingat kembali komitmen Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf yang sejak awal kepemimpinannya selalu menggaungkan semangat untuk menghidupkan ajaran Gus Dur. “Sekarang saya melihat PBNU ini agak gamang dan agak sulit melakukan transformasi sosial di luar kekuasaan,” tambah Asman, menekankan bahwa ormas keagamaan seharusnya fokus pada peran sosial dan moral, bukan terlibat dalam kegiatan komersial seperti pertambangan.
Asman juga menyoroti dampak negatif dari aktivitas tambang, seperti kekerasan dan konflik horizontal yang seringkali muncul akibat pertambangan besar yang dijaga oleh organisasi paramiliter seperti Pemuda Pancasila, Laskar Adat, dan milisi sipil lainnya. Selain itu, dia mengingatkan bahwa aktivitas pertambangan dapat menyebabkan degradasi sumber daya air, mulai dari sedimentasi sungai dan banjir, pengeringan sumur warga, hingga hilangnya air bersih serta peningkatan emisi gas rumah kaca.
Lebih lanjut, Asman menegaskan bahwa keputusan PBNU ini seolah tidak mematuhi hasil Bahtsul Masail dan Keputusan NU tentang Sumber Daya Alam, yang selama ini melahirkan poin-poin progresif terkait perlindungan lingkungan. Salah satu contohnya adalah rekomendasi Muktamar ke-34 NU di Lampung yang meminta pemerintah untuk menghentikan pembangunan PLTU batubara baru mulai tahun 2022 dan mengurangi produksi batubara mulai tahun 2022, serta early retirement/phase out PLTU batubara pada tahun 2040 guna mempercepat transisi energi yang berkeadilan, demokratis, dan terjangkau.
“Jadi kalau PBNU ikut menambang, ya, artinya mengkhianati hasil Muktamar ke-34 itu,” ujar Asman, dengan nada penuh keprihatinan.
Keputusan kontroversial ini mengikuti diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 oleh Presiden Joko Widodo, yang merupakan perubahan atas PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Segera setelah itu, PBNU mengambil langkah cepat dengan meminta izin tambang kepada negara, menjadi ormas keagamaan pertama yang melakukannya.
Menteri Investasi/BKPM, Bahlil Lahadalia, menyatakan bahwa NU sudah membuat badan usaha dan mengurus wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK) kepada Kementerian Investasi/BKPM. Ia juga berjanji akan segera menerbitkan izin tersebut pada pekan depan.
Reaksi keras dari berbagai kalangan, termasuk dari dalam tubuh NU sendiri, menunjukkan adanya ketidakpuasan yang mendalam terhadap keputusan ini. Banyak yang merasa bahwa PBNU seharusnya tetap fokus pada peran utamanya sebagai lembaga keagamaan yang menjalankan tugas-tugas kerasulan, pelayanan, dan pewartaan, bukannya terlibat dalam kegiatan ekonomi yang berpotensi merusak lingkungan dan mengganggu tatanan sosial.
Keputusan PBNU ini tidak hanya menimbulkan kekhawatiran akan dampak lingkungan dan sosial, tetapi juga mempertaruhkan integritas dan moralitas organisasi yang selama ini dihormati karena komitmennya terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan sosial.
Update Berita Kaltim gak harus ribet! Yuk, ikuti Saluran Whatsapp Kaltim Expose dan google news Kaltim Expose untuk dapetin informasi terbaru dengan cara yang mudah dan menyenangkan.