Plastik Tersebar di Udara, Greenpeace Temukan Mikroplastik di Geneva Saat Negosiasi Global

KaltimExpose.com – Plastik di udara, mikroplastik, kesehatan manusia, Greenpeace, dan perjanjian global plastik menjadi sorotan utama dalam negosiasi internasional di Geneva. Ribuan delegasi berkumpul membahas traktat bersejarah untuk mengatasi krisis plastik, sementara riset Greenpeace justru menemukan partikel plastik bertebaran di udara kota tempat perundingan berlangsung.
Dilansir dari The Verge, ribuan delegasi dunia menghadiri perundingan di Geneva yang digadang-gadang bakal menghasilkan traktat global plastik pertama. Ironisnya, udara di kota tersebut justru mengandung partikel mikroplastik yang sedang menjadi topik utama pembahasan. Greenpeace melakukan uji sederhana sebelum konferensi dimulai dan menemukan adanya jejak mikroplastik di udara perkotaan.
Dalam uji lapangan pada 17 Juli, Greenpeace memasang perangkat pemantau udara pada seorang relawan yang beraktivitas seharian di berbagai lokasi umum. Dari sampel yang dikumpulkan, tim menemukan setidaknya 165 partikel, termasuk jelaga dan serat alami. Dari jumlah itu, 12 diidentifikasi sebagai mikroplastik, antara lain polyester, nilon, hingga polyethylene—bahan umum untuk botol dan kantong plastik.
“Bahwa mikroplastik bisa ditemukan di udara kota, sebenarnya bukan hal mengejutkan karena sudah dilaporkan di kota lain. Ini hanya menegaskan bahwa tak ada tempat yang bebas dari polusi ini,” ujar David Santillo, peneliti senior Greenpeace Research Laboratories.
Ahli kesehatan lingkungan menegaskan, semakin kecil ukuran partikel, semakin besar risiko kesehatan karena mampu menembus jaringan tubuh lebih dalam. Penelitian di jurnal Nature Medicine bahkan menunjukkan otak manusia bisa mengandung mikroplastik sebanyak satu sendok teh. Philip Landrigan, direktur Global Public Health and the Common Good Program di Boston College, mengatakan, “Jika mereka menemukan partikel besar, kemungkinan besar partikel kecil juga ada.”
Laporan The Lancet yang ia pimpin mengungkap plastik menyebabkan penyakit dan kematian sejak bayi hingga usia lanjut, dengan kerugian ekonomi kesehatan mencapai USD 1,5 triliun per tahun. Risiko itu berasal dari seluruh siklus hidup plastik, mulai dari bahan kimia berbahaya di pabrik hingga limbah yang terurai menjadi nanopartikel di tubuh manusia.
Greenpeace menekankan temuannya bukan studi kualitas udara, melainkan bukti simbolis bahwa mikroplastik sudah merambah ke udara yang dihirup sehari-hari. Hal ini memberi bobot moral bagi para negosiator di Geneva yang tengah membahas perjanjian global untuk mengendalikan produksi plastik, bukan sekadar fokus pada daur ulang.
Perundingan yang dijadwalkan berakhir 14 Agustus 2025 itu bertujuan menghasilkan kesepakatan hukum internasional mengikat. Namun, tarik ulur masih terjadi. Negara produsen besar, termasuk Amerika Serikat, bersama industri bahan bakar fosil menolak pembatasan produksi, sementara koalisi ambisi tinggi yang dipimpin Rwanda dan Norwegia mendorong regulasi ketat hingga pelarangan bahan kimia berbahaya.
“Kita sudah penuh sesak dengan plastik akibat produksi berlebihan. Krisis ini tidak bisa selesai hanya dengan aksi bersih-bersih,” kata Angel Pago, juru kampanye plastik global Greenpeace, dari Geneva.
Produksi plastik melonjak drastis dari 2 juta ton pada 1950 menjadi 475 juta ton pada 2022. Namun kurang dari 10 persen yang berhasil didaur ulang. Banyaknya jenis bahan kimia dalam plastik membuat proses daur ulang tidak efisien. Landrigan menegaskan, “Kalau kita ingin benar-benar mengatasi plastik, produksi harus dibatasi. Saya berharap para negosiator menghasilkan traktat yang benar-benar melindungi kesehatan manusia.”
Update Berita Kaltim gak harus ribet! Yuk Gabung Channel WhatsApp Kaltim Expose Whatsapp Kaltim Expose untuk dapetin informasi terbaru dengan cara yang mudah dan menyenangkan.