Dua Pahlawan Kaltim: Sultan Aji Muhammad Idris & Abdoel Moeis Hassan, Dari Medan Perang hingga Diplomasi

KaltimExpose.com, Samarinda – Sejarah perjuangan bangsa Indonesia bukan hanya tentang Jawa atau Sumatera. Kalimantan Timur pun punya kisah heroik yang jarang terangkat. Salah satunya adalah Sultan Aji Muhammad Idris, Sultan ke-14 Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura, yang memimpin perlawanan sengit melawan penjajah Belanda di abad ke-18. Jauh sebelum Proklamasi Kemerdekaan, ia telah mengibarkan semangat persatuan antarkerajaan Nusantara demi melawan hegemoni VOC.
Kiprah Sultan Aji Muhammad Idris dalam Perlawanan Terhadap Kolonial Belanda
Kisah perjuangan bangsa Indonesia adalah sebuah mosaik yang terdiri dari berbagai cerita kepahlawanan dari seluruh penjuru nusantara. Dalam konteks wilayah Kalimantan, tokoh sentral yang pertama kali diakui secara nasional adalah Sultan Aji Muhammad Idris, Sultan ke-14 Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura. Penetapannya sebagai Pahlawan Nasional melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 109/TK/2021 pada 10 November 2021 menandai langkah monumental dalam pengakuan sejarah atas kontribusi Kalimantan Timur terhadap kemerdekaan Indonesia. Perjuangannya, yang dimulai lebih dari dua abad sebelum proklamasi, membentang dari pedalaman hutan Kalimantan hingga medan pertempuran di Sulawesi Selatan, menciptakan narasi perlawanan berskala luas yang melebihi batas-batas geografis kolonial.
Sultan Aji Muhammad Idris naik tahta pada tahun 1735, memimpin Kesultanan Kutai pada masa kritis ketika imperium perdagangan Eropa, yaitu Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), mulai menancapkan kukunya di Nusantara. Ia dikenal sebagai sultan pertama di Kutai yang menggunakan nama Islam, Aji Muhammad Idris, sebuah transformasi penting yang menandai era baru dalam pemerintahan kesultanan tersebut. Namun, perubahan simbolis ini tidak membuatnya menjadi pendiam terhadap ancaman politik dan militer VOC. Melalui strategi diplomatik yang tajam, ia mendirikan aliansi militer dan politik dengan La Maddukelleng, raja Kerajaan Wajo di Sulawesi Selatan. Aliansi ini semakin kuat setelah ia menikahi cucu La Maddukelleng pada tahun 1732, menjadikannya menantu kerajaan saudagar penting itu. Tujuan utama dari aliansi ini adalah untuk menghambat laju kolonial Belanda menuju wilayah-wilayah timur Indonesia, termasuk tanah kelahirannya sendiri, Kutai.
Kontribusi nyata Sultan Idris dalam perlawanan terhadap VOC jauh melampaui sekadar retorika politik. Ia secara langsung turun ke medan perang, memimpin serangan-serangan besar terhadap benteng-benteng VOC, termasuk Fort Rotterdam di Makassar pada tahun 1736 dan 1737. Langkah-langkah administratif juga dilakukannya untuk memperkuat pemerintahan dan struktur sosial di bawah kesultanan. Ia menerapkan undang-undang yang terstruktur seperti Panji Selaten dan Baraja Niti, serta melakukan transformasi sistem pemerintahan menjadi model monarki Islam yang lebih terorganisir. Semangat persatuan antarkerajaan Nusantara yang dia pancangkan menjadi fondasi bagi perlawanan lintas pulau melawan penjajah. Sayangnya, perjuangannya yang gigih berakhir tragis. Sultan Aji Muhammad Idris gugur dalam suatu pertempuran di tanah Wajo pada tahun 1739. Ada dua versi tentang kematian beliau: meninggal akibat luka perang yang parah atau tertebas keris oleh pasukan VOC, namun ada juga versi lain bahwa ia terperosok ke dalam lubang berisi bambu runcing yang dibuat oleh musuh. Jasadnya tidak pernah ditemukan, dan makamnya terletak di Kompleks Kuburan Pahlawan Nasional La Maddukelleng di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan. Meskipun demikian, warisannya hidup subur. Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur telah merencanakan berbagai bentuk penghormatan, termasuk penamaan jalan di Tenggarong, pembangunan monumen atau patung di Tenggarong, rehabilitasi makamnya di Wajo, serta penggunaan meriam kuno peninggalan Belanda sebagai ornamen sebagai bagian dari pelestarian sejarah.
Pengusulan gelar Pahlawan Nasional untuk Sultan Aji Muhammad Idris merupakan proses panjang yang didorong oleh kesadaran akan pentingnya warisan sejarah lokal. Usaha-usaha formal untuk mengusulkan beliau telah dilakukan sejak 1999, namun sempat terhenti karena masalah kelengkapan administrasi. Proses pengusulan kemudian dilanjutkan dan mendapat dorongan signifikan setelah Raja Wajo La Maddukelleng ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 1998, memberi legitimasi historis dan politis bagi pengakuan perjuangan Sultan Idris. Koordinasi resmi antara Dinas Sosial Provinsi Kalimantan Timur dan Tim Peneliti, Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP) dilakukan pada 31 Agustus 2020. Momentum penetapan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur juga disinyalir menjadi salah satu faktor yang mendorong percepatan pengakuan terhadap tokoh-tokoh asli daerah. Buku “Historipedia Kalimantan Timur” karya Muhammad Sarip dan Nanda Puspita Sheilla menjadi salah satu sumber referensi utama dalam verifikasi data dan penyusunan dokumen pengusulan. Pengakuan terhadap Sultan Aji Muhammad Idris bukan hanya sebuah penghargaan terhadap dirinya sendiri, tetapi sebuah pengakuan terhadap semangat perlawanan bersenjata, diplomasi lintas kerajaan, dan visi persatuan Nusantara yang dimilikinya—warisan sejarah yang sangat relevan untuk dipelajari oleh generasi muda di Kalimantan Timur dan seluruh Indonesia hari ini.
Diplomasi dan Perjuangan Politik Abdoel Moeis Hassan dalam Integrasi Kalimantan Timur
Berbeda dengan perjuangan Sultan Aji Muhammad Idris yang berlangsung di medan perang abad ke-18, perjalanan peperangan Abdoel Moeis Hassan (1924–2005) berlangsung di ranah politik, diplomasi, dan administrasi pemerintahan di era modern. Seorang tokoh multitalenta yang aktif sejak masa remaja, Abdoel Moeis Hassan dikenal sebagai pelopor pendirian Provinsi Kalimantan Timur, pemimpin diplomasi politik yang berhasil menyatukan daerah-daerah Kalimantan ke dalam Republik Indonesia Serikat, dan Gubernur termuda se-Indonesia saat itu. Kiprahnya adalah contoh nyata bagaimana perjuangan untuk kemerdekaan tidak selalu harus bersifat fisik, tetapi bisa dilakukan melalui gerakan ideologi, organisasi, dan perundingan politik yang kompleks.
Awal karier politik Moeis Hassan bermula di usia sangat muda. Pada Mei 1940, saat berusia 16 tahun, ia bersama tokoh pemuda lain seperti Badroen Tasin dan Chairul Arief mendirikan Roekoen Pemoeda Indonesia (Roepindo) di Samarinda. Organisasi ini didirikan untuk menanamkan kesadaran kebangsaan dan semangat nasionalisme di kalangan pemuda, membentengi mereka dari propaganda kolonial maupun para pengkhianat bangsa. Setahun kemudian, pada 1942, ia mendirikan Balai Pengadjaran dan Pendidikan Ra’jat (BPPR) bersama tokoh pendidikan A.M. Sangadji, dengan tujuan memberikan pendidikan politik kepada masyarakat umum. Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, perjuangan Hassan bergeser ke tingkat yang lebih strategis. Saat Karesidenan Kalimantan Timur masih belum bergabung dengan Republik Indonesia, ia terlibat aktif dalam Ikatan Nasional Indonesia (INI) untuk menolak kolaborasi dengan pemerintah Belanda yang kembali berusaha merebut kekuasaan. Perjuangannya yang paling monumental adalah menjadi Ketua Front Nasional pada 1947. Front Nasional, sebuah koalisi dari 22 organisasi pro-Republik, dipimpin oleh Moeis Hassan untuk menolak rencana federasi yang dibentuk Belanda dan menuntut agar Karesidenan Kalimantan Timur segera bergabung dengan Republik Indonesia Serikat. Berkat tekanan politik Front Nasional pimpinan Moeis Hassan, Karesidenan Kalimantan Timur secara resmi bergabung dengan RI pada 10 April 1950.
Tidak puas hanya dengan integrasi wilayah, Abdoel Moeis Hassan melanjutkan perjuangannya menuju pembentukan provinsi yang lebih mandiri. Ia menjadi arsitek utama Kongres Rakyat Kalimantan Timur pada tahun 1954, sebuah momen penting yang mendorong lahirnya Undang-Undang No. 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Kalimantan Timur. Provinsi Kalimantan Timur secara resmi didirikan pada 9 Januari 1957. Sebagai bentuk penghargaan atas jasanya, ia kemudian dilantik sebagai Gubernur Kalimantan Timur pada 10 Agustus 1962, pada usia 38 tahun. Menjabat selama empat tahun (1962–1966), masa jabatannya dipenuhi dengan pembangunan infrastruktur dan institusi penting. Salah satu sumbangan terbesarnya adalah pendirian Universitas Kalimantan Timur (sekarang Universitas Mulawarman) pada 27 September 1962, sebuah lembaga pendidikan tinggi pertama di daerah tersebut, meskipun APBD pada saat itu minim sekali sebesar Rp6 juta. Ia juga mendirikan Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Samarinda pada 7 Oktober 1963. Selain itu, ia juga dikenal karena upayanya menyelamatkan Istana Keraton Kutai dari pembakaran massa pada 1963, dengan mengirim polisi dan kejaksaan untuk menyegel istana tersebut, yang kini menjadi Museum Keraton Kutai. Ia juga memperkenalkan moto daerah “Ruhui Rahayu”, yang artinya “menyebar rahmat”.
Sayangnya, karier politiknya yang gemilang terhenti karena tekanan politik era pasca-G30S/PKI pada tahun 1965. Ia mundur dari jabatan gubernur pada 14 September 1966, walaupun kemudian terbukti bahwa tuduhan terlibat PKI tidak benar dan ia bahkan diangkat menjadi anggota MPR pada 1968. Pengabaian terhadap kontribusinya membuat kiprahnya relatif dilupakan oleh publik. Untuk mengembalikan kenangan kolektif akan jasanya, berbagai lembaga sipil, seperti Lembaga Studi Sejarah Lokal Komunitas Samarinda Bahari (Lasaloka-KSB), telah menginisiasi upaya pengusulan gelar Pahlawan Nasional sejak tahun 2018. Dokumen pengusulan diserahkan ke Kementerian Sosial RI oleh Pemprov Kaltim pada 22 Februari 2024. Kelengkapan berkasnya sedang dalam proses finalisasi, dengan harapan dapat disetujui sehingga Abdoel Moeis Hassan menjadi pahlawan nasional kedua dari Kalimantan Timur. Kehidupan dan perjuangan Abdoel Moeis Hassan menawarkan pelajaran penting bagi dunia pendidikan: bahwa perjuangan kemerdekaan adalah sebuah perjuangan multidimensi yang mencakup diplomasi, organisasi, pendidikan, dan perjuangan politik untuk membangun negara, bukan hanya perang.
Tokoh-Tokoh Regional dan Potensi Calon Pahlawan Nasional
Di luar dua tokoh sentral yang telah diakui atau diusulkan sebagai Pahlawan Nasional, sejarah Kalimantan Timur kaya akan figur-figur pejuang yang memiliki peran penting dalam perjuangan di tingkat regional maupun nasional. Mereka yang tercatat dalam catatan sejarah menyumbangkan kiprahnya melalui jalur perlawanan bersenjata, perjuangan di bidang pers, pendidikan, dan perjuangan melawan penjajah di berbagai periode. Menganalisis tokoh-tokoh ini tidak hanya memperkaya pemahaman kita tentang perjuangan di Kalimantan Timur, tetapi juga memberikan gambaran tentang dinamika perjuangan yang kompleks dan beragam bentuknya.
Salah satu tokoh legendaris adalah Awang Long, Panglima Senopati Ario Awang Long, seorang tokoh anak bungsu Mangkubumi Kerajaan Kutai. Ia memimpin perang melawan penjajah Inggris dan Belanda, melanjutkan tradisi perlawanan bersenjata yang dimulai oleh leluhurnya. Meskipun perjuangannya sangat berani, cakupan dampaknya dianggap lebih bersifat lokal, terbatas pada wilayah Kutai, sehingga peluangnya untuk diusulkan sebagai Pahlawan Nasional dinilai lebih rendah dibandingkan tokoh dengan pengaruh skala luas seperti Sultan Aji Muhammad Idris. Di ranah perjuangan politik dan organisasi, tokoh-tokoh seperti Abdul Gani, pendiri Gerakan Rakyat Kutai (GRK) pada masa Revolusi Kemerdekaan, berperan penting dalam menyatukan masyarakat Kutai untuk berjuang bersama. Sementara itu, tokoh-tokoh perempuan seperti Aminah Syukur, seorang pendidik dan pendiri sekolah pertama untuk perempuan di Samarinda sekitar 1928, menunjukkan peran penting wanita dalam membangun modal sosial dan kesadaran nasional melalui pendidikan.
Pada masa pendudukan Jepang, banyak tokoh Kalimantan Timur yang tewas akibat konflik atau perlawanan. Adji Raden Serip, misalnya, terbunuh akibat konflik pada masa pendudukan Jepang 1945, sementara Boediono (Boediojo), seorang dokter, memimpin aksi perebutan Kota Minyak Sanga-Sanga dari Belanda pada tahun 1947, namun sayangnya tertangkap dan dihukum mati oleh tentara Jepang. Kanujoso Djatiwibowo, seorang dokter di Balikpapan, juga dieksekusi mati oleh tentara Jepang pada Juni 1945. Keduanya diabadikan melalui penggunaan namanya sebagai nama Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) di Balikpapan, sebuah bentuk penghormatan yang tetap melekat di masyarakat lokal. Perjuangan di bidang pers juga tidak kalah penting. Badroen Arieph dan Oemar Dachlan adalah pejuang Republiken di Samarinda yang berjuang melalui media cetak, menyebarkan informasi dan semangat pro-kemerdekaan. Omar Barack, yang awalnya bekerja sebagai penyiar Radio Tokyo pada masa Perang Pasifik, merupakan contoh tokoh yang berada di garis depan informasi di masa itu
.
Ada pula tokoh-tokoh yang berjuang melawan penjajah Hindia Belanda di wilayah mereka masing-masing. Raja Alam, Sultan Sambaliung dari Berau, memimpin perlawanan rakyat Berau terhadap Belanda pada abad ke-19. Sultan Ibrahim Chaliluddin, dari Kesultanan Paser, adalah pemimpin perlawanan rakyat Paser terhadap Belanda serta pendiri cabang Sarekat Islam di Paser pada 1914. Dalam sejarah modern, tokoh-tokoh seperti Djoenaid Sanusie, yang memimpin Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI) di Samarinda pada 1946–1950, menunjukkan bentuk perlawanan gerilya yang terjadi di Kalimantan Timur pasca-Proklamasi. Semua tokoh ini, meskipun tidak semua diusulkan sebagai Pahlawan Nasional, membentuk latar belakang sejarah yang kaya dan kompleks. Mereka menunjukkan bahwa perjuangan kemerdekaan bukanlah monorel tunggal, melainkan sebuah sungai yang memiliki banyak anak sungai, masing-masing dengan jalurnya sendiri-sendiri, namun tetap berkontribusi menuju laut yang sama: kemerdekaan Indonesia. Mengajar tentang mereka akan memberikan siswa gambaran yang holistik dan inklusif tentang siapa saja yang berperan dalam perjuangan bangsa.
Dinamika Pengakuan Sejarah: Faktor-Faktor dan Proses Pengusulan Gelar Pahlawan Nasional di Kalimantan Timur
Proses pengakuan terhadap para pahlawan nasional bukanlah hal yang otomatis, melainkan sebuah perjuangan panjang yang melibatkan dinamika politik, administrasi, dan pemahaman sejarah. Kasus pengusulan gelar Pahlawan Nasional bagi tokoh-tokoh Kalimantan Timur, khususnya Sultan Aji Muhammad Idris dan Abdoel Moeis Hassan, memberikan contoh konkret tentang tantangan dan faktor-faktor yang mempengaruhi proses tersebut. Memahami dinamika ini penting untuk membentuk persepsi yang kritis di kalangan masyarakat, terutama para pelajar, tentang bagaimana sejarah ditulis, direkam, dan dihargai.
Proses pengusulan gelar Pahlawan Nasional diatur oleh UU Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Syarat-syaratnya cukup ketat, meliputi aspek substantif (kontribusi nyata terhadap perjuangan kemerdekaan) dan administratif (kelengkapan data dan dokumentasi). Usulan biasanya dimulai dari tingkat daerah, dalam hal ini Dinas Sosial Provinsi Kalimantan Timur, dan kemudian diajukan ke Tim Peneliti, Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP) di Jakarta. Proses pengusulan Sultan Aji Muhammad Idris, misalnya, telah berlangsung sejak 1999, namun sempat terhenti pada 2003 karena kelengkapan berkas. Hal ini menunjukkan bahwa proses pengakuan sejarah bisa sangat lambat dan dipengaruhi oleh kondisi internal administrasi di masa itu. Kemenangan Sultan Idris baru tercapai bertahun-tahun kemudian, tepatnya pada 10 November 2021, setelah adanya kebijakan khusus dari pemerintah pusat yang mempermudah proses verifikasi bagi provinsi-provinsi yang sebelumnya belum memiliki pahlawan nasional. Kebijakan ini, yang disebut sebagai bentuk apresiasi atas potensi daerah, seperti Kalimantan Timur sebelum penetapan Ibu Kota Nusantara (IKN), merupakan faktor penting yang mendorong percepatan pengakuan.
Sementara itu, pengusulan gelar Pahlawan Nasional untuk Abdoel Moeis Hassan juga mengalami fase-fase yang panjang. Usulan pertama dilakukan sejak 2018 oleh Lembaga Studi Sejarah Lokal Komunitas Samarinda Bahari (Lasaloka-KSB). Seminar-seminar nasional digelar untuk mempromosikan kiprahnya, seperti seminar yang diselenggarakan pada 29 Oktober 2018 dan 2 Juni 2018. Pada 22 Februari 2024, dokumen pengusulan lengkap diserahkan oleh Pemprov Kaltim ke Kementerian Sosial RI. Namun, prosesnya sempat terhambat karena masalah administrasi sederhana tetapi krusial: kurangnya foto arsip dengan tanda tangan ahli waris. Hambatan ini menyoroti bahwa meskipun kontribusi seorang tokoh dianggap signifikan, proses birokrasi yang ketat bisa menjadi penghalang nyata. Selain itu, Abdoel Moeis Hassan sering dikacaukan dengan tokoh lain bernama Inche Abdoel Moeis (Moeis Tinggi), yang bukan kerabatnya dan memiliki riwayat perjuangan yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa keseragaman nama atau gelar bisa menciptakan kebingungan sejarah jika tidak dilakukan verifikasi yang teliti.
Faktor-faktor lain yang mempengaruhi pengakuan sejarah termasuk dukungan dari sejarawan publik dan lembaga-lembaga studi sejarah. Muhammad Sarip, sejarawan publik yang juga penulis “Historipedia Kalimantan Timur,” telah menjadi narasumber penting dalam diskusi-diskusi pengusulan di lingkungan pemerintah daerah. Publikasi buku-buku sejarah yang ilmiah, seperti biografi Moeis Hassan yang ditulis oleh Sarip dan Nabila Nandini, serta ensiklopedia sejarah Kaltim, berfungsi sebagai basis data dan legitimasi akademik yang kuat untuk mendukung usulan penghargaan. Oleh karena itu, pendidikan sejarah yang baik di sekolah-sekolah sangat penting, tidak hanya untuk mengetahui fakta-fakta, tetapi juga untuk mengajarkan cara mengevaluasi sumber-sumber sejarah, membedakan mitos dari fakta, dan memahami konteks sosial-politik di balik penulisan sejarah. Dengan mempelajari dinamika pengakuan sejarah tokoh-tokoh seperti Sultan Aji Muhammad Idris dan Abdoel Moeis Hassan, siswa diharapkan dapat mengembangkan literasi sejarah yang kritis dan sadar bahwa sejarah adalah dialog antara masa lalu dan masa kini.
Relevansi Sejarah Pahlawan Kalimantan Timur dalam Pembelajaran dan Pembentukan Karakter
Sejarah adalah cerita tentang manusia, perjuangan, dan nilai-nilai yang membentuk identitas suatu bangsa. Dalam konteks pendidikan, menelaah kisah para pahlawan bukanlah sekadar menghafalkan nama-nama dan tanggal-tanggal, melainkan sebuah proses pembentukan karakter, pemahaman nilai-nilai Pancasila, dan pengembangan rasa kecintaan terhadap tanah air. Kisah para pahlawan Kalimantan Timur, dari Sultan Aji Muhammad Idris hingga Abdoel Moeis Hassan, menawarkan berbagai pelajaran dan relevansi yang sangat mendalam untuk pembelajaran sejarah di era edukasi saat ini. Mereka menyediakan contoh konkret tentang berbagai bentuk pengabdian, perjuangan, dan integritas yang dapat dijadikan role model bagi generasi muda.
Pertama, kisah perjuangan Sultan Aji Muhammad Idris mengajarkan pentingnya visi jangka panjang, diplomasi, dan persatuan. Dalam usianya yang masih muda, ia mampu melihat bahwa perlawanan terhadap penjajah tidak bisa dilakukan secara parsial. Aliansi strategis dengan Kerajaan Wajo menunjukkan bahwa solusi terbaik adalah kerjasama antarkerajaan Nusantara untuk melawan kekuatan asing. Ini relevan bagi siswa saat ini untuk memahami bahwa dalam menghadapi masalah global, kerjasama internasional dan solidaritas adalah kunci. Lebih dari itu, perjuangannya yang gigih meskipun terdesak oleh kekuatan militer VOC, namun tetap tidak menyerah, adalah teladan ketangguhan mental dan semangat pantang menyerah. Dia adalah contoh bahwa perjuangan bisa dilakukan dengan senjata politik dan diplomasi, bukan hanya senjata besi. Dalam pembelajaran sejarah, siswa diajak untuk memahami konteks sejarah yang kompleks di mana Sultan Idris beroperasi, dan tidak hanya melihatnya sebagai tokoh kutai, tetapi sebagai bagian dari perjuangan nasional sejak awal.
Kedua, perjalanan hidup Abdoel Moeis Hassan menawarkan pelajaran tentang keterampilan kepemimpinan, inovasi, dan tanggung jawab sosial. Sebagai pemimpin mahasiswa pada usia 16 tahun, ia sudah menunjukkan jiwa kepemimpinan dan kesadaran akan tanggung jawab terhadap bangsanya. Sebagai Gubernur, meskipun dihadapkan pada kendala finansial yang sangat besar, ia berhasil mendirikan universitas pertama di daerah, sebuah investasi jangka panjang terhadap sumber daya manusia. Upayanya menyelamatkan Keraton Kutai dari pemusnahan adalah contoh nyata sikap toleransi, penghormatan terhadap warisan budaya, dan perlunya mempertahankan identitas lokal dalam kerangka nasional yang lebih besar. Kisah hidupnya, termasuk kejatuhan politiknya yang dialami pada usia muda, memberikan pesan bahwa perjuangan tidak selalu mulus dan bahwa integritas seseorang akan diuji. Ini adalah pelajaran penting tentang etika politik dan integritas pribadi.
Ketiga, menelaah tokoh-tokoh lainnya di Kalimantan Timur, seperti para pejuang perempuan, tokoh di bidang pendidikan, pers, dan ulama, menumbuhkan kesadaran akan pluralisme perjuangan. Mereka menunjukkan bahwa kemerdekaan diraih oleh semua kalangan masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan, dari berbagai latar belakang profesi dan agama. Aminah Syukur, misalnya, menunjukkan bahwa pendidikan adalah senjata ampuh dalam perjuangan; Boediono dan Kanujoso Djatiwibowo mencontohkan loyalitas dan pengorbanan di medan perang ideologi; sementara ulama seperti Tuan Tunggang Parangan menunjukkan peran penting agama dalam menyebarkan semangat nasionalisme. Dengan mempelajari berbagai jenis perjuangan, siswa diajak untuk melihat sejarah sebagai sebuah ekosistem perjuangan yang saling terkait, di mana setiap komponen memiliki peran yang tak tergantikan.
Dengan demikian, penggunaan pigura para pahlawan Kalimantan Timur untuk keperluan edukasi adalah langkah yang sangat tepat. Buku “Historipedia Kalimantan Timur” dan analisis mendalam seperti ini dapat menjadi materi ajar yang kaya dan mendalam. Guru dapat merancang pembelajaran yang tidak hanya menampilkan fakta sejarah, tetapi juga mendorong diskusi reflektif tentang nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Pertanyaan-pertanyaan seperti, “Bagaimana Sultan Idris memilih untuk berperang? Apa risiko dari pilihan itu?”, “Apa yang mendorong Abdoel Moeis Hassan untuk mendirikan universitas meskipun sulit?”, “Bagaimana peran perempuan dalam perjuangan nasional?”, akan membantu siswa menginternalisasi pelajaran-pelajaran sejarah tersebut, sehingga sejarah tidak lagi menjadi sekadar mata pelajaran teoretis, tetapi menjadi sumber inspirasi dan pedoman dalam membentuk karakter masa depan bangsa. (qwen)
Update Berita Kaltim gak harus ribet! Yuk Gabung Channel WhatsApp Kaltim Expose Whatsapp Kaltim Expose untuk dapetin informasi terbaru dengan cara yang mudah dan menyenangkan.