KaltimExpose.com, Jakarta – Tagar All Eyes on Papua kini menjadi viral di media sosial, melanjutkan jejak sukses tagar sebelumnya, All Eyes on Rafah. Tagar ini menggema sebagai simbol dukungan terhadap masyarakat adat Papua yang sedang berjuang mempertahankan hutan adat mereka dari ancaman pembangunan perkebunan sawit. Dukungan luas ini memberikan harapan baru bagi masyarakat adat Suku Awyu di Boven Digoel dan Suku Moi di Sorong dalam perjuangan hukum mereka melawan pemerintah dan perusahaan sawit.
Latar Belakang dan Konteks
Masyarakat adat Suku Awyu di Papua Selatan dan Suku Moi di Papua Barat Daya sedang menghadapi tantangan besar. Mereka tengah menggugat pemerintah dan perusahaan sawit di pengadilan untuk mempertahankan hutan adat mereka, yang menjadi sumber kehidupan dan warisan leluhur. Kasus ini sudah mencapai tahap kasasi di Mahkamah Agung, yang menjadi harapan terakhir mereka untuk memperoleh keadilan.
Perjuangan Melawan Perusahaan Sawit
Kasus Suku Awyu
Menurut laman Greenpeace, masyarakat adat Suku Awyu menggugat Pemerintah Provinsi Papua atas pemberian izin lingkungan kepada PT Indo Asiana Lestari (IAL). Perusahaan ini mendapatkan izin untuk mengelola 36.094 hektare lahan yang sebagian besar merupakan hutan adat marga Woro, bagian dari Suku Awyu. Meskipun gugatan mereka telah ditolak di pengadilan tingkat pertama dan kedua, mereka tetap berjuang di Mahkamah Agung.
Hendrikus Woro, salah satu pejuang lingkungan hidup dari Suku Awyu, menekankan pentingnya mempertahankan hutan adat mereka. “Kami datang dari jauh, dengan biaya yang tidak sedikit, untuk meminta Mahkamah Agung memulihkan hak-hak kami,” katanya. Kehilangan hutan adat berarti kehilangan warisan leluhur dan sumber penghidupan bagi masyarakat Suku Awyu.
Kasus Suku Moi
Di sisi lain, sub suku Moi Sigin menghadapi tantangan serupa dengan PT Sorong Agro Sawitindo (SAS). Perusahaan ini berencana membuka 18.160 hektare hutan adat Moi Sigin untuk perkebunan sawit. Setelah izin usaha PT SAS dicabut oleh pemerintah pusat pada 2022, perusahaan ini mengajukan gugatan balasan ke PTUN Jakarta. Masyarakat adat Moi Sigin melawan dengan menjadi tergugat intervensi di PTUN Jakarta dan kini juga mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Fiktor Klafiu, perwakilan masyarakat adat Moi Sigin, mendesak Mahkamah Agung untuk memberikan keadilan hukum bagi mereka. “Hutan adat adalah sumber kehidupan kami. Jika hutan hilang, kami kehilangan segalanya,” ujarnya.
Dukungan dan Harapan
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Asep Komaruddin, menekankan pentingnya mengembalikan hutan adat kepada pemilik aslinya, yaitu masyarakat adat Awyu dan Moi. Menurutnya, keberadaan perusahaan sawit merusak hutan yang menjadi sumber penghidupan, budaya, dan pengetahuan masyarakat adat. Asep juga menyoroti tiga kerugian besar jika konflik ini berlanjut: hilangnya ruang hidup bagi masyarakat adat, kehilangan biodiversitas endemik Papua, dan peningkatan emisi karbon yang memperparah krisis iklim.
Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional, menambahkan bahwa konflik ini menunjukkan kurangnya penghormatan pemerintah terhadap hak masyarakat adat. Ia menekankan bahwa proses Free and Prior Informed Consent (FPIC) tidak dilakukan oleh perusahaan, yang seharusnya menjadi syarat penerbitan izin lingkungan. Uli berharap kampanye All Eyes on Papua yang viral di media sosial dapat mendorong perubahan kebijakan yang lebih menghormati hak-hak masyarakat adat. “Kami berharap kampanye ini bisa mengubah keputusan pengadilan atau kebijakan pemerintah baik di tingkat nasional maupun daerah,” ujarnya.
Ritual dan Doa di Depan Gedung Mahkamah Agung
Pada 27 Mei 2024, para pejuang lingkungan hidup dari kedua suku menggelar doa dan ritual di depan Gedung Mahkamah Agung, Jakarta Pusat, dengan mengenakan busana khas suku masing-masing. Aksi ini tidak hanya sebagai bentuk protes, tetapi juga sebagai cara untuk menarik perhatian publik dan pemerintah terhadap pentingnya melindungi hutan adat mereka.
Dengan terus menggema di media sosial, masyarakat adat Suku Awyu dan Suku Moi berharap Mahkamah Agung dapat menjatuhkan putusan hukum yang melindungi hutan adat mereka dari ancaman perusahaan sawit. Tagar All Eyes on Papua menjadi simbol perlawanan dan harapan bagi masyarakat adat Papua untuk mendapatkan keadilan dan mempertahankan hutan adat mereka. Perjuangan ini bukan hanya tentang hutan, tetapi juga tentang menjaga identitas, budaya, dan kelangsungan hidup masyarakat adat di Papua.
Update Berita Kaltim gak harus ribet! Yuk, ikuti Saluran Whatsapp Kaltim Expose dan google news Kaltim Expose untuk dapetin informasi terbaru dengan cara yang mudah dan menyenangkan.