KaltimExpose.com, Nusantara –ÂPresiden Joko Widodo atau Jokowi baru-baru ini mengklaim bahwa kualitas udara di Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara jauh lebih sehat dibandingkan dengan Singapura. Dalam sebuah pernyataan yang menarik perhatian publik, Jokowi membandingkan Air Quality Index (AQI) antara IKN dan Singapura, dengan hasil yang menunjukkan IKN unggul dengan AQI hanya di angka 6, sementara Singapura berada di angka 53.

“Misalnya di Singapura berapa Pak? 53. Di sini memang udaranya sangat segar, fresh dan bersih dan itu bagus untuk kesehatan untuk usia,” ujar Jokowi, menekankan betapa segarnya udara di IKN.

Namun, klaim ini mengundang beragam tanggapan dan skeptisisme, terutama dari para pegiat lingkungan yang menilai perbandingan ini tidak sepenuhnya relevan.

Meski klaim Jokowi mengenai bersihnya udara di IKN terdengar menjanjikan, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kualitas udara di berbagai kota di Indonesia masih memprihatinkan. Berdasarkan data dari IQAir, Kota Bekasi memiliki AQI tertinggi di Indonesia, yaitu mencapai angka 151 pada 13 Agustus 2024 pukul 20:21 WIB, yang memasukkan kota tersebut ke dalam kategori merah atau berbahaya.

Selain Bekasi, beberapa kota lain seperti Bandung, Bogor, Tangerang Selatan, dan Jakarta juga memiliki AQI di atas 100, yang menandakan kualitas udara tidak sehat bagi orang-orang dengan kondisi kesehatan tertentu. Kota-kota ini masuk dalam kategori warna oranye, yang berarti kualitas udara dapat berdampak negatif bagi kesehatan.

Sementara itu, kota-kota seperti Palembang, Medan, Pekanbaru, Jambi, dan Pagak berada dalam kategori sedang dengan AQI di atas 50, yang meski masih dapat diterima, tetap menunjukkan adanya polusi udara yang perlu diperhatikan.

Kualitas udara yang buruk memiliki dampak serius terhadap kesehatan manusia. Risiko terkena penyakit kardiovaskular, gangguan pernapasan, berbagai jenis kanker, hingga masalah pada mata dan kulit meningkat signifikan di daerah dengan AQI tinggi. Bahkan, dampak buruk ini juga bisa mempengaruhi kesehatan mental, menciptakan beban tambahan bagi masyarakat.

Pemerintah memiliki peran penting dalam upaya perbaikan kualitas udara, tetapi langkah-langkah yang diambil harus serius dan terarah. Namun, beberapa pengamat lingkungan mengkritisi tanggapan Jokowi terhadap isu ini.

Jeanny Sirait, pengkampanye Urban Justice dari Greenpeace Indonesia, menyoroti respon Jokowi yang dianggapnya kurang serius ketika ditanya soal kualitas udara di Jakarta. “Seharusnya, pertanyaan itu berhubungan dengan rencana pemulihan kualitas udara di Jakarta. Jakarta terkesan ‘dibuang’ pasca dianggap penuh dengan masalah lingkungan,” kritiknya.

Jeanny juga menilai klaim Jokowi yang membandingkan AQI di IKN dengan Singapura dan Jakarta tidak relevan. Menurutnya, pembangunan yang masif di IKN pada akhirnya akan berdampak pada polusi udara. Kondisi kualitas udara di IKN yang saat ini lebih baik dibanding Jakarta, menurut Jeanny, disebabkan karena IKN belum aktif sebagai ibu kota negara, sehingga tidak bisa dibandingkan secara langsung dengan kota besar seperti Jakarta atau Singapura.

Kritik senada juga disampaikan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Dwi Sawung, Manajer Kampanye Tata Ruang dan Infrastruktur Walhi, menyebut perbandingan yang dilakukan Jokowi sebagai upaya pencitraan. “Saat ini bersih karena belum ada aktivitas, cuma pembangunan dan dibatasi juga orang yang ke sana. Nanti kalau sudah ada aktivitas belum tentu juga masih bersih,” ujar Sawung.

Lebih lanjut, Sawung juga meragukan validitas data AQI yang digunakan dalam klaim Jokowi. Menurut situs IQAir, Kota Penajam memiliki AQI sebesar 26 untuk polutan PM2,5 pada pengukuran pukul 11 WIB. Namun, angka ini didapat dari alat di Bandara Sepinggan di Balikpapan, yang artinya tidak mewakili kondisi udara di IKN secara keseluruhan.

Artikel tayang di Tempo.co.

 


Update Berita Kaltim gak harus ribet! Yuk, ikuti Saluran Whatsapp Kaltim Expose dan google news Kaltim Expose untuk dapetin informasi terbaru dengan cara yang mudah dan menyenangkan.

Iklan