KaltimExpose.com – Fenomena antrean panjang di toko-toko emas belakangan ini menyita perhatian publik. Video antrean mengular tersebar di media sosial, mengiringi lonjakan harga emas yang menyentuh rekor tertinggi lebih dari Rp1,9 juta per gram pada April 2025.
Bukan hanya tren sesaat, fenomena ini mencerminkan perubahan perilaku masyarakat dalam menyikapi ketidakpastian ekonomi global, krisis geopolitik, hingga inflasi domestik. Tapi pertanyaannya: apakah emas benar-benar investasi, atau sekadar alat penyelamat dari inflasi?
Dikenal sebagai safe haven, emas kerap menjadi pelarian saat pasar modal bergejolak. Ketika saham rontok, suku bunga tak menentu, dan nilai tukar melemah, emas tetap bersinar. Ini karena pergerakan harga emas tidak berkorelasi erat dengan instrumen keuangan lain, sebagaimana diungkapkan Brian Lucey dan Sile Li (2019).
Harga emas pun terus naik, bahkan saat uang tunai langka. Contohnya pada 2020 saat pandemi COVID-19 melanda, emas melonjak 26,48 persen, dan pada tahun ini (2025), kenaikannya mencapai lebih dari 100 persen—sebuah lonjakan yang tak bisa diabaikan.
Indonesia tercatat sebagai salah satu eksportir emas dunia, menempati posisi ke-20 secara global. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut, produksi emas nasional mencapai 70 ton per tahun, dengan nilai ekspor emas periode Januari–April 2024 menyentuh Rp52,3 triliun, didominasi oleh pengiriman ke Swiss, Hong Kong, dan India.
Namun ironisnya, Indonesia juga mengimpor emas, terutama logam mulia dari Australia. Fenomena ini menunjukkan tingginya permintaan domestik, terutama dalam bentuk emas perhiasan.
Inflasi Dorong Masyarakat “Borong” Emas
BPS dalam rilis inflasi terbaru per April 2025 mencatat emas perhiasan sebagai penyumbang inflasi tahunan terbesar, dengan andil sebesar 0,44 persen. Tidak mengherankan, sebab harga melonjak, tapi permintaan justru ikut naik.
Kondisi ini disebut sebagai anomali pasar: ketika hukum klasik supply-demand Adam Smith seolah tak berlaku. Penyebabnya? FOMO (Fear of Missing Out) alias ketakutan masyarakat tertinggal momen membeli emas.
Meski sering dikritik, FOMO dalam membeli emas tak sepenuhnya buruk. Ketimbang dihabiskan untuk konsumsi tak produktif, membeli emas bisa menjadi kebiasaan finansial yang sehat—asal dengan perencanaan matang.
Pakar keuangan mengingatkan, emas idealnya dibeli dengan “uang dingin”, bukan uang kebutuhan harian apalagi pinjaman online. Membeli emas dengan dana pinjol karena tergiur untung cepat justru bisa menjerumuskan ke kerugian.
Secara definisi, investasi adalah menanamkan aset demi keuntungan masa depan. Maka, menyimpan emas lebih dari satu tahun dan menjualnya saat harga tinggi bisa menghasilkan capital gain. Artinya, emas jelas bisa disebut investasi.
Namun, masyarakat perlu memahami bahwa emas lebih cocok untuk investasi jangka menengah hingga panjang. Karena adanya selisih harga beli dan harga jual kembali (buyback), keuntungan instan dalam jangka pendek nyaris mustahil.
Seperti halnya saham atau properti, investasi emas juga memiliki risiko: koreksi harga global, pelemahan rupiah, suku bunga global, hingga gejolak politik. Oleh karena itu, edukasi literasi finansial tetap penting.
Berinvestasi emas bukan hanya soal beli saat ramai dan jual saat untung, tapi juga soal kesabaran, strategi, dan kesiapan mental menghadapi fluktuasi.
Emas memang istimewa—bisa menjadi alat lindung nilai dan sekaligus investasi. Namun jangan buru-buru tergoda fenomena pasar tanpa pemahaman. Emas bukan jalan pintas jadi kaya, tapi bisa menjadi kendaraan aman menuju stabilitas finansial.
Jadi, daripada ikut-ikutan tren, lebih baik pahami risikonya dan bangun strategi yang bijak. Selamat berinvestasi, dan jangan lupa: emas bersinar, tapi pikiran harus tetap terang.
Artikel ini telah tayang di detik.com.
Update Berita Kaltim gak harus ribet! Yuk, ikuti Saluran Whatsapp Kaltim Expose dan google news Kaltim Expose untuk dapetin informasi terbaru dengan cara yang mudah dan menyenangkan.