Gejala Depresi di Usia Paruh Baya yang Tingkatkan Risiko Demensia hingga 50%

Ilustrasi Depresi pada usia paruh baya dapat menjadi indikator peningkatan risiko demensia di kemudian hari, menurut studi terbaru (Foto: MedicalNewsToday/Getty Images)

KaltimExpose.com –   Penelitian terbaru mengungkap bahwa gejala depresi di usia paruh baya berkaitan dengan peningkatan risiko demensia hingga hampir 50% di kemudian hari, membuka peluang pencegahan dini bagi kesehatan otak.

Sebuah studi longitudinal terbaru menunjukkan bahwa gejala depresi di usia paruh baya bisa menjadi indikator risiko demensia lebih dari dua dekade kemudian. Dilansir dari Medical News Today, peneliti di University College London (UCL) menemukan bahwa enam gejala tertentu yang muncul pada masa paruh baya berkaitan dengan peningkatan tajam risiko demensia saat menua.

Penelitian ini melibatkan lebih dari 5.800 peserta berusia rata-rata 55 tahun yang bebas dari demensia pada awalnya. Para peneliti menilai kondisi psikologis responden antara 1997 dan 1999 menggunakan kuesioner gejala depresi, lalu mengikuti perkembangan kesehatan mereka selama 25 tahun melalui catatan medis nasional.

Hasilnya menunjukkan bahwa peserta dengan lima atau lebih gejala depresi pada paruh baya memiliki risiko demensia 27% lebih tinggi dibanding yang tidak. Namun, peningkatan risiko ini terutama dipengaruhi oleh enam gejala spesifik, termasuk kesulitan berkonsentrasi, kehilangan kepercayaan diri, merasa tegang sepanjang waktu, ketidakmampuan menghadapi masalah, kurang hangat terhadap orang lain, dan ketidakpuasan dalam menyelesaikan tugas.

Dua gejala di antara enam tersebut — kehilangan kepercayaan diri dan kesulitan menghadapi masalah — terkait dengan hampir 50% peningkatan risiko demensia. Temuan ini menggarisbawahi bahwa bukan depresi secara umum yang berisiko tinggi, melainkan pola gejala tertentu yang menjadi penanda penting.

Menurut Philipp Frank, PhD, peneliti utama dari studi ini, “Gejala-gejala ini tampaknya menjadi penanda awal yang sangat penting terhadap risiko demensia jangka panjang, jauh sebelum diagnosis demensia ditegakkan. Hal ini juga membantu menjelaskan mengapa hasil penelitian sebelumnya tentang depresi dan demensia sering tidak konsisten, karena banyak studi hanya memandang depresi sebagai kondisi ya atau tidak. Penelitian kami menekankan pentingnya melihat pola gejala secara lebih spesifik, bukan sekadar diagnosisnya.”

Para ilmuwan menjelaskan bahwa gejala-gejala ini dapat memicu isolasi sosial dan berkurangnya aktivitas mental yang merangsang otak, yang pada gilirannya mengurangi ketahanan kognitif terhadap kerusakan otak atau penyakit di kemudian hari.

Meskipun demikian, penelitian ini menunjukkan bahwa tidak semua gejala depresi memiliki hubungan kuat dengan demensia. Misalnya, masalah tidur dan suasana hati yang rendah, meski umum dalam depresi, tidak terbukti signifikan dalam memprediksi risiko demensia.

Temuan ini menyoroti pentingnya pendekatan yang lebih rinci dalam penilaian kesehatan mental pada paruh baya untuk mendeteksi individu berisiko. Intervensi yang tepat terhadap gejala-gejala spesifik ini dianggap berpotensi membantu menurunkan risiko demensia di masa depan. (Jie)

Iklan