Puasa Intermiten Sama Efektifnya dengan Diet Kalori untuk Turunkan Berat Badan

KaltimExpose.com – Penelitian baru yang dipublikasikan dalam jurnal The BMJ pada 18 Juni 2025 membawa angin segar dalam perdebatan panjang antara puasa intermiten (intermittent fasting) dan diet rendah kalori (calorie restriction). Dalam tinjauan sistematis terhadap 99 uji klinis acak dengan lebih dari 6.500 partisipan, kedua pendekatan diet ini terbukti sama efektifnya dalam menurunkan berat badan dan memperbaiki faktor risiko kardiometabolik.
Puasa intermiten (IF) berfokus pada waktu makan—bukan apa yang dimakan—dengan pola makan yang dijadwal secara ketat. Sebaliknya, diet rendah kalori (CR) mengatur jumlah kalori harian, tanpa mengikat waktu makan tertentu.
Berbagai jenis IF yang dianalisis antara lain:
- Alternate Day Fasting (ADF): Puasa selang-seling dengan hari makan normal dan hari sangat rendah kalori.
- Time-Restricted Eating (TRE): Pembatasan waktu makan harian, biasanya hanya 8 atau 12 jam.
- Whole Day Fasting (5:2): Puasa penuh dua hingga tiga hari dalam seminggu.
Dibandingkan dengan pola makan bebas (ad libitum), semua bentuk IF dan CR menunjukkan penurunan berat badan. Menariknya, hanya ADF yang menghasilkan penurunan berat badan lebih besar daripada CR, meski selisihnya tidak dianggap signifikan secara klinis.
“Analisis ini menunjukkan bahwa ketiga pendekatan diet pada dasarnya memberikan hasil yang serupa,” kata David B. Sarwer, PhD, Direktur Pusat Penelitian Obesitas di Temple University.
“Itulah mengapa banyak dari kami percaya bahwa pendekatan terbaik adalah yang sesuai dengan gaya hidup dan bisa dipertahankan dalam jangka panjang.”
Tidak Ada Diet Terbaik, Hanya yang Bisa Konsisten Dijalani
Para peneliti tidak menemukan bukti kuat bahwa salah satu metode lebih unggul dari yang lain. Studi ini menegaskan bahwa keberhasilan diet lebih bergantung pada kemampuan seseorang untuk konsisten menjalani pola tersebut.
Sebagian besar peserta studi memiliki BMI rata-rata 31, artinya secara klinis mereka tergolong obesitas. Sekitar 90% dari mereka memiliki kondisi kesehatan penyerta seperti diabetes tipe 1 dan 2, serta tekanan darah tinggi.
Penelitian juga menemukan bahwa ADF memberikan sedikit keunggulan dalam menurunkan kolesterol total dan LDL dibandingkan TRE, meski tidak signifikan secara statistik.
Puasa Intermiten Tetap Menjanjikan, Tapi Belum Final
Meskipun puasa intermiten sangat populer dalam satu dekade terakhir, bukti ilmiah mengenai keunggulannya dibanding diet tradisional masih belum konsisten. Namun, sebagian penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa IF lebih mudah dipatuhi dibandingkan CR, berkat sederhananya aturan yang diterapkan.
Salah satu studi pendukung datang dari uji klinis yang didanai NIH dan dipublikasikan pada April 2025. Hasilnya mencengangkan: peserta yang mengikuti puasa whole-day 4:3 berhasil menurunkan berat badan 50% lebih banyak daripada kelompok CR (7,6% vs 5%) setelah setahun.
Tak hanya bobot tubuh, mereka juga mencatatkan peningkatan signifikan pada tekanan darah, kolesterol total, dan kadar A1C.
Kunci Keberhasilan Diet: Kepatuhan Jangka Panjang
Salah satu temuan penting dari studi ini adalah tingkat kepatuhan menurun drastis seiring berjalannya waktu. Uji coba di bawah 24 minggu memiliki tingkat kepatuhan di atas 80%, sedangkan program diet yang berlangsung lebih dari 52 minggu justru mencatatkan penurunan kepatuhan hingga di bawah 30%.
“Saya berharap ada solusi mudah untuk menurunkan berat badan. Tapi realitanya, banyak faktor sosial dan lingkungan yang mendorong kita ke arah sebaliknya,” ujar Dr. Sun Kim, profesor dari Stanford Medicine.
“Kunci utamanya adalah menemukan perubahan gaya hidup yang realistis dan bisa dijalankan dalam jangka panjang.”
Kim juga menekankan bahwa diet puasa tidak cocok untuk semua orang. Mereka yang sedang hamil atau menyusui, penderita tekanan darah rendah, gangguan makan, serta orang lanjut usia perlu konsultasi medis lebih dulu sebelum mencoba metode ini.
Diet Bukan Tentang Tren, Tapi Kesesuaian Pribadi
Terlepas dari metode yang dipilih—puasa intermiten atau diet rendah kalori—yang terpenting adalah bagaimana individu bisa menjalaninya secara konsisten. Sarwer menambahkan, perubahan kecil sering kali lebih efektif daripada larangan total.
“Saya lebih memilih menyarankan pasien untuk mengurangi jumlah hari makan es krim, atau memperkecil porsinya, daripada meminta mereka berhenti total,” tutupnya.
Artikel ini telah tayang di healthline.com.
Update Berita Kaltim gak harus ribet! Yuk Gabung Channel WhatsApp Kaltim Expose Whatsapp Kaltim Expose untuk dapetin informasi terbaru dengan cara yang mudah dan menyenangkan.