Vaksin HIV Hampir Tercapai, Tapi Pemerintah AS Justru Tarik Dana Penelitiannya

Rencana pemerintahan Trump untuk memangkas dana penelitian vaksin HIV muncul pada saat bidang tersebut mengalami kemajuan. Victor Torres/Stocksy United

KaltimExpose.com –  Kemajuan pengobatan HIV sejak 1980-an telah menyelamatkan jutaan nyawa. Namun, harapan akan hadirnya vaksin pencegah HIV kini berada di ujung tanduk, setelah muncul laporan bahwa pemerintah AS berencana menghentikan pendanaan untuk penelitian vaksin HIV.

Dilaporkan oleh CBS News, para peneliti menerima pemberitahuan dari pejabat National Institutes of Health (NIH) bahwa Departemen Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan AS (HHS) memutuskan untuk tidak memberikan dana tambahan untuk penelitian vaksin HIV pada tahun anggaran berikutnya.

Keputusan ini dikabarkan akan menghentikan sejumlah proyek penelitian penting, termasuk di Duke Human Vaccine Institute dan Scripps Research Institute. Bahkan uji klinis vaksin HIV milik Moderna juga dilaporkan ditangguhkan.

“Saya terkejut dengan keputusan ini,” kata Dr. Jake Scott, profesor klinis di Stanford University yang ahli dalam penyakit menular. “Tidak ada bukti ilmiah atau medis yang membenarkan pemangkasan ini, terlebih di saat penelitian menunjukkan hasil menjanjikan.”

Hal senada disampaikan oleh Carl Baloney Jr., CEO terpilih AIDS United. Ia menyebut keputusan ini mengabaikan puluhan tahun kemajuan ilmu pengetahuan dan menghambat peluang mencegah HIV secara menyeluruh.

Mengapa Vaksin HIV Begitu Vital?

Meskipun terapi antiretroviral saat ini sangat efektif dan memungkinkan orang dengan HIV hidup hampir normal, para ahli menekankan bahwa pengobatan ini bukanlah penyembuhan total. Terlebih, pengobatan ini memerlukan kedisiplinan konsumsi harian, dan tidak semua orang memiliki akses atau mampu membelinya.

“Obat HIV memang bagus, tapi sangat mahal dan harus dikonsumsi seumur hidup,” ujar Dr. Scott. Ia menambahkan, “Orang dengan HIV tetap berisiko mengalami gangguan kekebalan dan peradangan yang memicu penyakit jantung. Vaksin bisa mencegah itu semua sejak awal.”

Namun jika pendanaan benar-benar dihentikan, dampaknya tidak hanya pada studi yang sedang berjalan. “Kita bisa kehilangan satu generasi ilmuwan,” kata Dr. Scott. “Butuh waktu puluhan tahun untuk membangun infrastruktur penelitian ini. Sekali dihentikan, tidak mudah untuk memulainya kembali.”

Baloney menambahkan, “Ini bukan sekadar membatalkan uji klinis, tapi juga menyampingkan para ilmuwan, institusi, dan mitra komunitas yang memimpin inovasi.”

Perjalanan Panjang Pengobatan HIV

Pengobatan HIV pertama kali hadir pada tahun 1987 dengan disetujuinya AZT, yang awalnya dikembangkan untuk kanker. Sejak itu, kombinasi tiga obat antiretroviral pada 1996 menjadi tonggak besar dalam mengendalikan replikasi HIV dan mencegah resistensi obat.

Saat ini, lebih dari 50 jenis obat HIV telah disetujui, termasuk:

  • Truvada dan Descovy (NRTI)
  • Biktarvy dan Vocabria (INSTI)
  • Lexiva dan Crixivan (PI)
  • Intelence dan Viramune (NNRTI)
  • Fuzeon dan Selzentry (entry inhibitors)
  • Tybost, Norvir (booster CYP3A)
  • Trogarzo (post-attachment inhibitors)
  • Rubokia (attachment inhibitor)

Ada pula suntikan jangka panjang, seperti yang diberikan sebulan sekali hingga dua bulan sekali, membuat pengobatan lebih fleksibel.

“Sekarang, AIDS kami sebut sebagai ‘HIV stadium lanjut’, karena pengobatannya sudah sangat efektif,” ungkap Dr. Scott.

Namun Baloney mengingatkan, “Terapi saat ini memang mengubah HIV menjadi penyakit kronis yang bisa dikelola, tapi bukan obat. Dan tidak semua orang bisa mengaksesnya. Vaksin tetap akan menjadi pengubah permainan, terutama bagi komunitas yang menghadapi hambatan sistemik.”

Pencegahan: Masih Lebih Baik Daripada Mengobati

Upaya pencegahan tetap penting meski terapi tersedia. Langkah seperti penggunaan kondom, jarum suntik steril, pemeriksaan rutin, dan pembatasan pasangan seksual direkomendasikan.

Kini tersedia juga terapi pencegahan seperti:

  • PrEP (pre-exposure prophylaxis): bisa dalam bentuk pil harian atau suntikan dua bulan sekali seperti Apretude.
  • PEP (post-exposure prophylaxis): diminum dalam 72 jam setelah terpapar, selama 28 hari.
  • Lenacapavir: sedang menunggu persetujuan FDA pada 19 Juni mendatang.

Namun, seperti ditekankan Baloney, semua tindakan ini belum mampu menandingi kekuatan vaksin.

“Tidak ada yang bisa menggantikan kekuatan vaksin pencegah, apalagi di komunitas yang masih diliputi stigma dan keterbatasan akses kesehatan.”

 

Artikel ini telah tayang di healthline.com.


Update Berita Kaltim gak harus ribet! Yuk Gabung Channel WhatsApp Kaltim Expose Whatsapp Kaltim Expose untuk dapetin informasi terbaru dengan cara yang mudah dan menyenangkan.

Iklan