KaltimExpose.com, Jakarta –�Presiden Prabowo Subianto mengeluarkan kebijakan efisiensi besar-besaran dengan memangkas anggaran negara hingga Rp 306 triliun pada tahun 2025. Langkah ini tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025, yang diteken pada 22 Januari 2025. Namun, kebijakan ini menuai reaksi, termasuk dari pihak yang disebut Prabowo sebagai ‘raja kecil’ di birokrasi yang menentang instruksinya.
Dalam kebijakan efisiensi ini, Rp 256,1 triliun dipangkas dari belanja kementerian/lembaga, sementara Rp 50,5 triliun berasal dari transfer ke daerah. Prabowo menegaskan bahwa pengeluaran tidak penting seperti perjalanan dinas, kegiatan seremonial, hingga studi banding harus dikurangi drastis.
Salah satu poin yang cukup mencolok adalah pengurangan perjalanan dinas hingga 50 persen, serta pembatasan belanja honorarium dengan memperketat jumlah tim dan besaran gaji. Pemerintah daerah pun diminta lebih selektif dalam menggunakan anggaran agar tidak digunakan untuk kepentingan pribadi atau penyalahgunaan.
Sindiran untuk ‘Raja Kecil’ di Birokrasi
Dalam sambutannya di Kongres ke-XVIII Muslimat NU di Jatim Expo, Surabaya, Senin (10/2/2025), Prabowo secara tegas mengkritik oknum dalam birokrasi yang menghambat kebijakan efisiensi ini.
“Saya melakukan penghematan, saya ingin pengeluaran-pengeluaran yang tidak perlu, pengeluaran-pengeluaran yang mubazir, pengeluaran-pengeluaran yang alasan untuk nyolong, saya ingin dihentikan, dibersihkan. Ada yang melawan saya, ada. Dalam birokrasi merasa sudah kebal hukum, merasa sudah menjadi ‘raja kecil’, ada,” kata Prabowo.
Ia juga menegaskan bahwa efisiensi anggaran ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, termasuk memperbaiki 330.000 sekolah yang saat ini hanya mampu direnovasi sebanyak 20.000 sekolah per tahun.
Prabowo pun menyatakan bahwa pejabat yang menolak kebijakan efisiensi tidak perlu melakukan perjalanan ke luar negeri selama lima tahun, kecuali untuk tugas resmi negara.
“Yang perlu ke luar negeri itu yang memang tugas. Kalau hanya jalan-jalan, pakai uang sendiri,” tegasnya.
Dampak Pemangkasan Anggaran: Gaji Pegawai hingga Akurasi Cuaca
Kebijakan ini ternyata berdampak luas pada berbagai sektor. Komisi Yudisial (KY) misalnya, menyebut bahwa mereka hanya mampu membayar gaji pegawai hingga Oktober 2025 akibat pemotongan anggaran.
“Dengan anggaran yang ada, operasional sehari-hari terganggu. Bahkan, gaji pegawai hanya cukup sampai bulan Oktober,” ungkap Ketua KY Amzulian Rifai di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (10/2/2025).
Selain itu, pegawai KY harus mengeluarkan uang pribadi untuk membeli BBM bagi kendaraan dinas akibat anggaran yang dipotong hingga 54 persen.
Tidak hanya KY, Perpustakaan Nasional (Perpusnas) juga terkena imbasnya. Mulai 10 Februari 2025, Perpusnas tidak lagi beroperasi pada hari Minggu, libur nasional, dan cuti bersama akibat keterbatasan dana.
Di sektor lain, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) juga menghadapi tantangan berat. Akibat efisiensi anggaran, akurasi informasi cuaca, gempa, dan tsunami berkurang dari 90 persen menjadi 60 persen.
“Ketepatan informasi peringatan dini tsunami dari 3 menit kini bisa menjadi 5 menit atau lebih. Jangkauan penyebarluasan informasi gempa dan tsunami pun menurun hingga 70 persen,” ungkap Muslihhuddin, Kepala Biro Hukum, Humas, dan Kerja Sama BMKG.
BMKG menyebut bahwa pemotongan anggaran hingga Rp 1,423 triliun atau 50,35 persen dari total anggaran mereka, berisiko menyebabkan ratusan alat sensor pemantauan gempa dan tsunami mati akibat kurangnya dana perawatan. Hal ini berpotensi mengganggu deteksi bencana di Indonesia.
BMKG Minta Dispensasi Anggaran
BMKG secara prinsip mendukung kebijakan efisiensi anggaran, namun mereka mengajukan permohonan dispensasi kepada Presiden Prabowo. Menurut BMKG, anggaran yang dipotong akan berdampak langsung pada keselamatan publik, khususnya dalam mitigasi bencana alam.
Selain itu, pemotongan anggaran ini juga menghambat modernisasi sistem peralatan operasional BMKG, termasuk yang berkaitan dengan keselamatan transportasi udara dan laut.
Kebijakan efisiensi anggaran yang diterapkan Prabowo Subianto bertujuan untuk mengalokasikan dana ke sektor yang lebih mendesak. Namun, implementasinya tidak lepas dari tantangan, termasuk reaksi dari lembaga-lembaga yang terdampak.
Sementara itu, kritik terhadap pejabat birokrasi yang dianggap sebagai ‘raja kecil’ menunjukkan tekad Prabowo untuk menekan pengeluaran yang tidak diperlukan. Kini, publik menantikan bagaimana kebijakan ini akan berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat dalam jangka panjang.
Artikel ini telah tayang di detik.com.
Update Berita Kaltim gak harus ribet! Yuk, ikuti Saluran Whatsapp Kaltim Expose dan google news Kaltim Expose untuk dapetin informasi terbaru dengan cara yang mudah dan menyenangkan.