KaltimExpose.com –Pasar keuangan Indonesia mencatat hasil beragam pada Rabu (13/11/2024), dengan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang melemah, rupiah yang tertekan, serta lonjakan imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN). Sentimen negatif dari inflasi Amerika Serikat (AS) dan penguatan dolar AS turut membebani kinerja pasar domestik. Kondisi ini diikuti oleh kekhawatiran pelaku pasar akan inflasi AS yang memengaruhi pergerakan IHSG dan nilai tukar rupiah terhadap dolar.

Pada penutupan perdagangan kemarin, IHSG melemah 0,18% ke posisi 7.308,67 setelah sempat mengalami penguatan di sesi awal. Transaksi di pasar saham mencapai Rp 11 triliun dengan total volume 38 miliar saham. Sektor konsumer primer dan properti tercatat sebagai penekan utama IHSG dengan pelemahan masing-masing 1,79% dan 1,56%.

Emiten-emiten besar seperti PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk (AMRT), PT Chandra Asri Pacific Tbk (TPIA), dan PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN) turut menyeret IHSG ke zona merah, dengan penurunan masing-masing 8,1, 7,4, dan 4,8 indeks poin. Penurunan ini sebagian disebabkan oleh ekspektasi pelaku pasar yang cemas atas rilis data inflasi AS dan potensi kenaikan suku bunga The Fed.

Dari sektor valuta asing, rupiah sempat menguat tipis 0,03% ke level Rp15.770/US$ di akhir perdagangan, setelah sebelumnya mengalami pelemahan selama dua hari berturut-turut. Sepanjang hari, rupiah berfluktuasi di rentang Rp15.795/US$ hingga Rp15.740/US$, sementara indeks dolar AS (DXY) naik ke level 106,12. Penguatan dolar AS ini didorong oleh ekspektasi bahwa The Fed tidak akan terlalu agresif dalam menurunkan suku bunga.

Imbal hasil SBN bertenor 10 tahun turut meningkat menjadi 6,91%, rekor tertinggi sejak Juli 2024, yang menunjukkan adanya aksi jual oleh investor. Naiknya imbal hasil SBN mencerminkan kekhawatiran pasar terhadap inflasi dan kebijakan moneter AS, terutama setelah kemenangan Donald Trump dalam pemilu AS, yang dinilai dapat memperketat kebijakan perdagangan dan meningkatkan tekanan inflasi.

Ekspektasi inflasi AS yang diperkirakan mencapai 2,6% pada Oktober, di atas angka sebelumnya 2,4%, turut memperkuat sentimen bahwa The Fed akan mempertahankan suku bunga tinggi pada pertemuan Desember mendatang. Data tenaga kerja AS yang solid, termasuk tingkat pengangguran rendah dan kenaikan non-farm payroll, memperkuat pandangan ini. Presiden Federal Reserve Minneapolis, Neel Kashkari, juga menyebut bahwa inflasi AS mungkin masih akan naik lebih tinggi dari ekspektasi.

Investor melihat bahwa peningkatan inflasi di AS dapat memperlambat keputusan The Fed dalam memangkas suku bunga, yang bisa menambah tekanan pada nilai tukar rupiah.

Di sisi lain, dari dalam negeri, data penjualan ritel juga menunjukkan perlambatan. Bank Indonesia (BI) melaporkan Indeks Penjualan Riil (IPR) hanya tumbuh 4,8% secara tahunan pada September 2024, lebih rendah dibandingkan Agustus yang mencapai 5,8%. Pada Oktober, IPR diprediksi lebih lanjut menurun menjadi 1% yoy, dan secara bulanan terkontraksi 0,5% mom. Penurunan ini didorong oleh kelompok Peralatan Informasi dan Komunikasi, yang mengalami kontraksi signifikan.

Penurunan daya beli ini dapat menjadi sinyal perlambatan konsumsi domestik, komponen penting dalam mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia. Bank Indonesia dan pelaku pasar diharapkan terus mencermati perkembangan ini, terutama menjelang akhir tahun di mana pengaruh inflasi AS dan konsumsi domestik akan semakin menentukan arah kebijakan moneter selanjutnya.

Kondisi pasar keuangan Indonesia saat ini masih berisiko melemah dengan adanya ketidakpastian global dari AS dan kondisi domestik yang masih menghadapi tantangan. Ke depannya, pelaku pasar diharapkan tetap waspada terhadap perkembangan data inflasi AS dan kebijakan The Fed, serta sinyal dari BI terkait langkah-langkah untuk menjaga stabilitas pasar dalam negeri.

 

Artikel ini telah tayang di CNBC Indonesia.


Update Berita Kaltim gak harus ribet! Yuk, ikuti Saluran Whatsapp Kaltim Expose dan google news Kaltim Expose untuk dapetin informasi terbaru dengan cara yang mudah dan menyenangkan.

Iklan