Sempuri yang disampaikan turun-temurun secara lisan, mulai menjadi kenyataan. Nubuat para tetua suku Paser menyebut wilayah Nagri Paser akan menjadi ibukota besar dan makmur.
KaltimExpose.com, Tana Paser –�CERITA Musa, Ketua Lembaga Adat Suku Paser –Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU-– setali tiga uang dengan Paidah Riansyah. Dia adalah Ketua Laskar Pertahanan Adat Suku Paser. Kata Paidah, nubuat pindahnya ibu kota negara secara samar muncul pada periode “Sie Penggawa” atau periode Sembilan Penggawa, sekira media 1300-an.
Pada masa itu, ujar Paidah, sistem kerajaan digantikan dengan sistem kepunggawaan. Dimana pemimpin kerajaan adalah masyarakat adat yang diwakili Sembilan Penggawa. Pergantian sistem ini terjadi setelah wafatnya Ratu Aji Mubar Mayang –raja terakhir Kerajaan Tuban Layar (1305-1382). Sembilan Penggawa ini, tutur Paidah, berkuasa hingga 100 tahun lamanya sebelum akhirnya terjadi perselisihan paham diantara mereka. “Dalam perjalanannya terjadi cekcok, hingga akhirnya salahsatu penggawa mengusulkan untuk mencari raja kembali,” ujarnya, seperti dikutip dari Detik.
Dalam misi mencari raja baru ini, mereka sepakat untuk pergi ke negeri timur jauh. Delapan penggawa kemudian berlayar mengarungi samudera menuju dataran Tiongkok. Namun, belum sampai di tujuan, tim ekspedisi ini menemukan sebuah pulau di tengah samudera.
Dalam sempuri, sebagaimana diceritakan Paidah, pulau itu disebut negeri yang aneh atau negeri gaib. Penghuninya adalah suku Malimunan. Para penggawa itu akhirnya memutuskan berlabuh di negeri gaib tersebut. Suku Malimunan seolah tahu tujuan para penggawa itu singgah ke pulau. Mereka menyarankan delapan penggawa kembali ke Nagri Paser. Sebab raja yang mereka cari tak akan ada di Tiongkok, melainkan akan lahir di Nagri Paser sendiri.
Sebelum para penggawa itu kembali, suku Malimunan memberi beberapa benda, antara lain sebuah gong, peti yang terbuat dari batu berisi pusaka, dan delapan buah bingkisan. Delapan bingkisan itu dipesan agar jangan dibuka sebelum tiba di Nagri Paser.
“Dalam bahasa sempuri, delapan bingkisan itu disebut ‘Walu Belingis’. Hingga kini gong (diberi nama Gong Karampungen, Red.), peti batu (diberi nama Peti Bendalatana, Red.) dan peralatan kerajaan yang diberikan Suku Malimunan masih tersimpan di Komang (Kecamatan Muara Komang, Kabupaten PPU, Red.),” terang Paidah.
Dalam perjalanan pulang, salahsatu penggawa yang bernama Seranta penasaran dan tak sabar ingin membuka bingkisan-bingkisan itu. Mula-mula, ketika kapal singgah di Pulau Jawa, Seranta membuka satu bingkisan. Kemudian saat singgah di Pulau Sulawesi, Seranta membuka satu bingkisan kembali.
Begitupun seterusnya. Hingga akhirnya tersisa satu bingkisan yang belum dibuka oleh penggawa dari suku Balik –Balikpapan– itu. Satu bingkisan terakhir itu akhirnya dibuka di Nagri Paser, tepatnya di teluk Balikpapan. Masyarakat Paser percaya, seandainya semua bingkisan itu dibuka di Nagri Paser, wilayah itu akan tumbuh besar penduduknya dan terkenal ke seluruh dunia.
Namun, meski tersisa satu bingkisan yang dibuka, para tetua suku dan masyarakat adat Paser tetap percaya suatu hari nanti bingkisan itu akan membuat Nagri Paser terkenal. Kepercayaan itu dipegang hingga beratus-ratus tahun dan diabadikan melalui sempuri yang dikisahkan turun-temurun.
“Nah, mungkin itu yang dikaitan oleh masyarakat dengan ibukota negara yang sekarang. Kalau Anda berkunjung ke tetua-tetua kami, itu bukan sesuatu yang dikarang-karang, memang itu yang disampaikan secara turun-temurun. Jadi memang para tetua sudah menubuatkan nanti diakhir akan ada peristiwa besar di Nagri Paser. Wallahu a’lam,” urai Paidah.
Paidah mengklaim Suku Paser adalah suku tertua di Kalimantan dan diyakini sebagai induk suku yang melahirkan suku-suku lain di seluruh pulau Borneo. Sumbernya sendiri adalah sempuri diceritakan secara turun-temurun.
Menurut Paidah, suku Paser lahir dari Suku Kerawong yang tinggal di sekitar hulu sungai Telake di Kecamatan Long Kali, Kabupaten PPU. Dari Suku Kerawong ini lahir Suku Paser Lembuyut dan Suku Paser Saingkuak.
Dari dua suku terakhir itulah lahir 12 sub suku yang dikenal dan masih eksis hingga saat ini. Masyarakat adat suku Paser menyebut 12 sub suku itu dengan sebutan “Bansu Tatau Datai Danum“, yang berarti masyarakat atau manusia yang hidup di pinggir sungai, pantai, atau danau.
“Ke-12 sub suku itu mendiami sepanjang tenggara pulau Kalimantan, atau dalam literatur masyarakat adat Paser menyebut pulau Kalimantan sebagai ‘Benuo Rekan Tatau’ yang artinya negeri yang kaya raya nan luas,” tutupnya. (fai)
Update Berita Kaltim gak harus ribet! Yuk, ikuti Saluran Whatsapp Kaltim Expose dan google news Kaltim Expose untuk dapetin informasi terbaru dengan cara yang mudah dan menyenangkan.