KaltimExpose.com, Jakarta –Isu mengenai rencana Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menganulir putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024 terkait ambang batas pencalonan kepala daerah telah menjadi perbincangan hangat di berbagai kalangan. Keputusan MK yang menurunkan ambang batas tersebut dipandang sebagai upaya untuk memperbaiki sistem demokrasi dan membuka ruang bagi lebih banyak kandidat dalam pemilihan kepala daerah. Namun, rencana DPR untuk mengubah kembali aturan ini melalui undang-undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) justru menimbulkan kontroversi dan menuai kritik dari berbagai pihak.

Dalam putusan yang diambil pada Selasa, 20 Agustus 2024, MK memutuskan untuk menurunkan ambang batas pencalonan kepala daerah, yang sebelumnya 25 persen suara partai politik atau gabungan partai politik hasil Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) atau 20 persen kursi DPRD. Keputusan ini disambut baik oleh banyak pihak karena dianggap memberikan kesempatan lebih besar bagi partai-partai kecil dan independen untuk mengajukan calon dalam Pilkada.

Namun, tidak lama setelah keputusan ini diumumkan, muncul kabar bahwa Badan Legislasi (Baleg) DPR akan menggelar rapat untuk membahas kemungkinan menganulir putusan tersebut. Isu ini mencuat setelah seorang sumber menyebutkan bahwa Baleg DPR sedang menyiapkan dua skenario: mengembalikan aturan ambang batas Pilkada yang lama atau memberlakukan putusan MK tersebut untuk Pilkada 2029.

Sekjen Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), Kaka Suminta, dengan tegas menentang rencana DPR tersebut. Menurut Kaka, tidak ada norma hukum yang dapat menentang putusan MK. “Putusan MK itu sifatnya final dan mengikat. Ini adalah hasil koreksi terhadap perundang-undangan, dan harus menjadi acuan bagi semua pihak,” ujar Kaka saat dihubungi pada Selasa, 20 Agustus 2024.

Kaka menegaskan bahwa penerbitan Perppu pun tidak bisa menganulir putusan MK. Ia menambahkan bahwa pemerintah dan partai politik di parlemen harus mematuhi putusan tersebut dan tidak mencoba mencari celah hukum untuk mengubahnya. “Kalau dilakukan, akan terjadi ancaman serius terhadap demokrasi kita,” lanjutnya.

Senada dengan pernyataan Kaka, Herdiansyah Hamzah Castro, seorang dosen Hukum Tata Negara dari Universitas Mulawarman, juga menekankan bahwa putusan MK tidak bisa dilawan dengan cara apapun, termasuk melalui perubahan undang-undang. “Putusan MK itu final dan mengikat. Jika DPR dan pemerintah mencoba mengubah UU tanpa mematuhi putusan MK, itu jelas merupakan pembangkangan hukum,” ujarnya pada Rabu, 21 Agustus 2024.

Herdiansyah menambahkan bahwa DPR tidak memiliki wewenang untuk menafsirkan putusan MK. “Hanya MK yang memiliki hak untuk menafsirkan konstitusi. Jika lembaga politik mencoba menafsirkan ulang, itu akan menciptakan kekacauan hukum,” tegasnya.

Anggota Constitutional and Administrative Law Society (CALS), Bivitri Susanti, turut mengkritik rencana DPR untuk menganulir putusan MK. Ia menegaskan bahwa putusan MK tidak bisa dibatalkan oleh lembaga politik manapun, baik melalui undang-undang maupun Perppu. “Jangan main gila, di seluruh dunia, tidak ada putusan MK yang bisa dibolak-balik oleh lembaga politik,” tegasnya pada Selasa, 20 Agustus 2024.

Bivitri menjelaskan bahwa MK adalah penafsir utama konstitusi, dan semua lembaga harus mematuhi apa yang ditafsirkan oleh MK. Ia juga menyoroti bahwa situasi saat ini tidak memenuhi syarat untuk penerbitan Perppu, karena tidak ada keadaan mendesak yang memaksa pemerintah untuk mengeluarkannya.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, juga memberikan pandangannya terkait isu ini. Menurutnya, putusan MK harus dipatuhi dan tidak boleh diubah melalui undang-undang. “Putusan MK setara dengan konstitusi, dan tidak boleh diubah melalui UU,” ujar Feri pada Selasa, 20 Agustus 2024.

Feri juga menekankan bahwa hanya MK yang berhak menafsirkan konstitusi. “Jika DPR mencoba menafsirkan ulang, ini akan menimbulkan kekacauan hukum yang tidak sehat,” tambahnya.

Kritik yang dilontarkan oleh para pakar hukum dan pengamat politik ini mencerminkan kekhawatiran yang luas terhadap potensi ancaman terhadap demokrasi jika DPR benar-benar menganulir putusan MK. Putusan MK yang menurunkan ambang batas pencalonan kepala daerah dianggap sebagai langkah maju dalam memperkuat demokrasi dan membuka peluang lebih besar bagi partai-partai kecil dan calon independen.

Namun, jika DPR dan pemerintah tetap bersikeras untuk mengubah kembali aturan ini, hal tersebut tidak hanya akan menimbulkan kekacauan hukum, tetapi juga dapat melemahkan kepercayaan publik terhadap institusi-institusi negara, termasuk MK dan DPR itu sendiri.

Isu ini juga menimbulkan pertanyaan besar tentang masa depan demokrasi di Indonesia, terutama menjelang Pilkada 2024. Apakah keputusan MK akan dihormati dan diimplementasikan sesuai dengan semangat konstitusi, atau apakah kepentingan politik tertentu akan mengesampingkan prinsip-prinsip hukum dan demokrasi?

Artikel ini telah tayang di tempo.co.

 


Update Berita Kaltim gak harus ribet! Yuk, ikuti Saluran Whatsapp Kaltim Expose dan google news Kaltim Expose untuk dapetin informasi terbaru dengan cara yang mudah dan menyenangkan.

Iklan