KaltimExpose.com –�Tingkat inflasi di Indonesia terus menurun dalam beberapa waktu terakhir, bahkan sempat mengalami deflasi. Meski terdengar positif, sejumlah pengamat ekonomi justru menganggap ini sebagai alarm bahaya bagi perekonomian nasional.
Sejak Juni 2023, inflasi Indonesia menyentuh angka 3 persen dan terus menurun. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi tahunan (yoy) terendah dalam sejarah pada 2024, yakni 1,57 persen. Bahkan, sepanjang Mei hingga September 2024, Indonesia mengalami deflasi beruntun selama lima bulan.
Pada Januari 2025, Indonesia kembali mengalami deflasi sebesar 0,76 persen. Menurut Plt. Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti, penyebab utama deflasi adalah penurunan tarif listrik, yang menyumbang deflasi sebesar 1,47 persen.
“Pada Januari 2025 secara bulanan (month to month) dan tahun kalender (year to date) terjadi deflasi sebesar 0,76 persen, atau terjadi penurunan indeks harga konsumen (IHK) dari 106,80 pada Desember 2024 menjadi 105,99 pada Januari 2025,” ujar Amalia dalam konferensi pers, Senin (3/2).
Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi INDEF Andry Satrio Nugroho mengingatkan bahwa inflasi rendah bisa menjadi tanda lemahnya daya beli masyarakat dan perekonomian secara keseluruhan.
“Ini sudah alarm bahaya menurut saya. Industri manufaktur terus tumbuh rendah secara konsisten dari tahun ke tahun, sejak 2022, 2023, hingga 2024,” kata Andry kepada CNNIndonesia.com, Rabu (5/2).
Menurutnya, pelemahan industri dan meningkatnya gelombang PHK membuat daya beli masyarakat turun. Akibatnya, konsumsi berkurang, sementara jumlah penawaran barang dan jasa justru lebih tinggi daripada permintaan.
Ia mendesak Presiden Prabowo Subianto segera mengambil langkah luar biasa untuk mencegah perekonomian semakin memburuk.
“Kalau tidak ada extraordinary effort, lupakan pertumbuhan ekonomi 5 persen. Situasi ini harus segera diubah,” tegasnya.
Senada dengan Andry, Direktur Ekonomi Celios Nailul Huda menilai rendahnya inflasi menunjukkan lemahnya konsumsi masyarakat, yang seharusnya naik seiring pertumbuhan ekonomi.
“Kalau inflasinya rendah akibat lemahnya permintaan (demand pull), ini jadi alarm bahaya,” kata Huda.
Ia menilai kondisi ini mirip dengan krisis ekonomi 2009 dan pandemi Covid-19, ketika daya beli masyarakat anjlok. Padahal, Indonesia saat ini tidak menghadapi krisis besar seperti kedua periode tersebut.
Huda menyarankan pemerintah untuk memberikan insentif guna meningkatkan daya beli, seperti:
- Menurunkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), seperti yang dilakukan Vietnam.
- Menurunkan Pajak Penghasilan (PPh) karyawan, seperti kebijakan India.
- Meningkatkan batas pendapatan tidak kena pajak (PTKP) agar masyarakat memiliki lebih banyak uang untuk konsumsi.
“Ketika daya beli meningkat, permintaan naik, inflasi pun akan naik ke tingkat yang lebih sehat,” pungkasnya.
Saat ini, bola ada di tangan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Jika tak ada langkah strategis, pertumbuhan ekonomi bisa terus melambat, membuat target pertumbuhan 5 persen sulit tercapai.
Akankah pemerintah segera bertindak untuk menyelamatkan ekonomi? Ataukah inflasi rendah justru menjadi awal dari krisis ekonomi baru di Indonesia?
Artikel ini telah tayang di cnnindonesia.com.
Update Berita Kaltim gak harus ribet! Yuk, ikuti Saluran Whatsapp Kaltim Expose dan google news Kaltim Expose untuk dapetin informasi terbaru dengan cara yang mudah dan menyenangkan.