KaltimExpose.com, Jakarta –Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak yang akan digelar pada 27 November 2024 bakal diwarnai oleh fenomena yang menarik perhatian, yakni calon tunggal yang akan melawan kotak kosong. Dari total 545 wilayah yang akan mengadakan Pilkada, sebanyak 43 daerah hanya memiliki satu pasangan calon kepala daerah (paslon) yang terdaftar, memaksa mereka bertarung melawan pilihan “kotak kosong.”

Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan bahwa 43 daerah tersebut terdiri dari 1 provinsi dan 42 kabupaten atau kota. Papua Barat menjadi satu-satunya provinsi yang kemungkinan besar akan diisi oleh calon tunggal, sedangkan sisanya tersebar di tingkat kabupaten dan kota. Pengumuman ini disampaikan pada Sabtu, 31 Agustus 2024, setelah batas akhir pendaftaran calon pada 29 Agustus 2024 tidak mendapatkan pasangan calon lain yang mendaftar di 43 daerah tersebut.

Fenomena Calon Tunggal Melawan Kotak Kosong di Pilkada 2024

Kondisi ini mendorong KPU untuk memperpanjang masa pendaftaran bagi bakal pasangan calon kepala daerah (cakada) di wilayah-wilayah tersebut. Koordinator Divisi Teknis Penyelenggaraan Pemilu KPU, Idham Holik, menjelaskan bahwa KPU memberikan kesempatan tambahan agar lebih banyak calon yang mungkin tertarik mendaftar.

“Tanggal 30, 31 Agustus, dan 1 September adalah masa sosialisasi perpanjangan pendaftaran. Kemudian, tanggal 2, 3, dan 4 September menjadi masa perpanjangan pendaftaran,” ujar Idham Holik saat diwawancarai di Jakarta, Sabtu, 31 Agustus 2024.

Fenomena kotak kosong dalam pilkada tidak hanya menimbulkan perhatian, tetapi juga menimbulkan pertanyaan bagi masyarakat. Apakah yang akan terjadi jika kotak kosong menang dalam pemilihan tersebut?

Menurut Ketua KPU Mochammad Afifudin, KPU telah melayangkan surat konsultasi kepada Komisi II DPR terkait hal ini. Dalam surat tersebut, KPU berupaya mendapatkan masukan terkait kemungkinan menangnya kotak kosong dalam Pilkada dan langkah apa yang akan diambil jika skenario ini terjadi.

Jika kotak kosong dinyatakan menang, berdasarkan regulasi yang ada, Pilkada harus diulang dengan mengundang calon-calon baru untuk berpartisipasi. Pemerintahan di daerah tersebut sementara akan dipimpin oleh pejabat sementara yang ditunjuk oleh pemerintah pusat hingga pemilihan ulang dapat digelar. Situasi seperti ini tidak jarang menimbulkan kekhawatiran di masyarakat, terutama terkait stabilitas pemerintahan di daerah.

Fenomena calon tunggal tidak terlepas dari dinamika politik lokal. Banyak faktor yang menyebabkan partai politik atau koalisi memilih untuk mendukung satu calon kuat yang dianggap sudah memiliki peluang besar untuk menang. Dalam beberapa kasus, calon yang diusung dianggap sebagai figur yang tak tergoyahkan, baik dari segi dukungan politik maupun elektabilitas, sehingga partai-partai lawan memutuskan untuk tidak mengajukan pesaing.

Selain itu, biaya tinggi dalam kampanye dan persiapan Pilkada juga menjadi alasan mengapa partai atau calon independen memilih tidak maju. Menghadapi calon tunggal dengan dukungan kuat sering kali dipandang sebagai misi yang sulit, membuat pilihan untuk tidak bersaing menjadi lebih rasional bagi banyak pihak.

Sementara fenomena kotak kosong sering kali dianggap sebagai konsekuensi dari dinamika politik lokal, hal ini juga menimbulkan kekhawatiran tentang kualitas demokrasi di tingkat daerah. Pilkada dengan calon tunggal dapat mengurangi opsi bagi pemilih untuk menentukan pilihan berdasarkan perbandingan visi, misi, dan program calon.

Sebagai pemilih, partisipasi dalam Pilkada bukan hanya sekadar memilih figur pemimpin, tetapi juga memilih visi pembangunan daerah ke depan. Ketika hanya ada satu calon, proses demokrasi bisa terasa kurang bermakna karena tidak adanya pilihan yang beragam bagi masyarakat.

Dalam beberapa kasus, meskipun kotak kosong adalah simbol protes bagi pemilih yang merasa tidak puas dengan calon yang ada, kesempatan untuk benar-benar merubah keadaan melalui kotak kosong sangat terbatas. Pemilu ulang membutuhkan sumber daya besar dan waktu, yang pada akhirnya menunda keberlanjutan pembangunan di daerah tersebut.

KPU sebagai lembaga penyelenggara Pemilu terus berupaya menciptakan kondisi yang lebih kompetitif dan inklusif dalam Pilkada 2024. Dengan memperpanjang masa pendaftaran calon di 43 daerah yang hanya memiliki satu pasangan calon, diharapkan ada lebih banyak calon yang tertarik untuk mendaftar. Ini merupakan salah satu cara KPU mendorong partisipasi lebih luas dari berbagai elemen politik.

Namun, tantangan besar masih menghadang. Di beberapa wilayah, persaingan politik yang kurang seimbang bisa memicu fenomena calon tunggal terus terjadi. Oleh karena itu, dibutuhkan reformasi lebih mendalam dalam mekanisme pencalonan dan proses Pilkada, sehingga demokrasi lokal bisa berjalan lebih sehat dan kompetitif.

Artikel ini telah tayang di liputan6.com.

 


Update Berita Kaltim gak harus ribet! Yuk, ikuti Saluran Whatsapp Kaltim Expose dan google news Kaltim Expose untuk dapetin informasi terbaru dengan cara yang mudah dan menyenangkan.

Iklan